Translate

Sunday, June 23, 2013

Angel at the Bus Stop



There was still a steady rain when Amee trudged into the shelter at the bus stop that evening. Sitting heavily on the bench, she stared at muddy gutter,and wondered when things would ever change. So much had been wrong, she felt she was slowly being crushed inside. The physical therapy after the auto accident was only supposed to be for a couple weeks. The weeks had stretched to months, and although she could walk now, she still fought for balance on her steps, and the numbing ache still robbed her of sleep most nights. Her broken collarbone still ached, too, when it rained. Like today. Her stomach growled, and she grimaced at the thought of food. All the medications were ruining her appetite, too. She was so tired of being sick. So tired of being tired. Amee sat lost in thought, as the rain dripped steadily off the awning.
Suddenly, Amee was aware of white service shoes in front of her line of vision. Startled, she followed the sturdy uniform-clad legs up to see pudgy tan hands clasped around an ample waist within a bright blue scrub shirt. She looked up into a pair of crinkled-rimmed kind brown eyes, and realized a woman was speaking to her.
"Ya all right, honey?" she was saying. Without warning, Amee burst into tears. In seconds, the woman had stepped close, and pulled Amee's head to her ample bosom, and held her quietly close. The moment passed, and Amee straightened up, apologizing profusely through her tears.
"Stop Amee," said the soft voice. "God knows when we're drowning, and need His touch. The sun will come out again for you." Gently she kissed Amee's forehead, and turned to walk away.
"Wait!" cried Amee, "How did you know my name?!"
"God knows all His children by name, child."
As Amee blinked in astonishment, the bus arrived, blocking her view. As she stood up, shaking her head, the voice came again. At the same moment as the breaking sunbeams. In the mist steaming off the pavement Amee distinctly heard, "He knows you needed to be held in His arms, for just a moment. To hear His heartbeat. He sent me to wrap you in it today."

Friday, June 21, 2013

Alkitab yang Bungkam dalam Bahasa Nusantara (Indonesia, abad 17 dan 18)



Alkitab yang Bungkam dalam Bahasa Nusantara (Indonesia, abad 17 dan 18)

Berabad-abad lamanya, Alkitab merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di seluruh dunia.
Ada tiga alasan yang menjadi penghalang sehingga isi Firman Allah itu umumnya tidak dikenal oleh orang-orang biasa.
Mula-mula, pada zaman dahulu hanya ada satu cara untuk memperbanyak salinan-salinan Alkitab: dengan tulisan tangan. Jadi, salinan-salinan Alkitab itu sangat langka dan sangat mahal harganya.
Juga, kebanyakan pemimpin umat Kristen pada zaman dahulu berpendapat bahwa jika orang-orang biasa diizinkan membaca Alkitab sendiri, pasti akan timbul banyak tafsiran yang salah. Jadi (menurut pikiran mereka), lebih baik jika hak istimewa untuk memiliki Alkitab itu dimonopoli saja oleh para rohaniawan.
Alasan ketiga ialah, kebanyakan Alkitab pada zaman dahulu masih ditulis dalam bahasa-bahasa kuno. Jadi, kebanyakan orang tidak dapat membacanya, pun tidak dapat mengerti isinya jika dibacakan oleh orang lain.
Mulai pada abad yang ke-15 dan ke-16, ketiga alasan yang menjadi penghalang itu berturut-turut dihapus.
Pertama-tama, seni cetak ditemukan oleh orang-orang Barat (walau pada hakikatnya orang-orang Timur sudah lebih dahulu menemukannya!). Buku lengkap yang pertama-tama dicetak ialah: Alkitab. Maka salinan-salinan Alkitab menjadi jauh lebih mudah diperoleh.
Kemudian timbul Reformasi Protestan di benua Eropa. Gerakan pembaharuan gereja itu menekankan bahwa tiap orang bertanggung jawab kepada Allah atas keadaan rohaninya. Jadi, belum cukuplah jika ia mendengar tafsiran Alkitab yang diberikan oleh orang lain; ia harus dapat mempunyai Alkitab sendiri, serta harus dapat mengerti isinya.
Tentu saja, untuk dapat mencapai maksud tadi, Alkitab harus diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang biasa dipakai oleh kebanyakan orang. Dan justru itulah yang berlangsung di seluruh dunia, mulai pada abad yang ke-16.
Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di Nusantara. Memang sudah ada orang-orang Kristen di sini: Kaum Kristen Nestorian mulai datang ke kepulauan Indonesia pada abad yang ke-12, dan kaum Kristen Katolik mulai datang pada abad yang ke-14. Tetapi Alkitab-Alkitab yang mereka bawa itu tertulis dalam bahasa-bahasa asing, yang sulit dipahami oleh putra-putri Nusantara.
Ada juga halangan khusus di Nusantara yang mencegah orang mempunyai dan membaca Alkitab, yakni: Orang-orang yang tinggal di berbagai-bagai pulau itu berbicara dalam berbagai-bagai bahasa pula. Jika seorang pelaut pergi berlayar di Nusantara, belum tentu ia dapat bercakap-cakap dengan orang-orang di pulau tempat tujuannya.
Namun ada juga bahasa-bahasa yang umumnya dipakai kalau putra-putri Nusantara pergi ke pasar atau berdagang di pelabuhan. Salah satu bahasa perniagaan itu ialah bahasa Portugis; tetapi yang lebih umum lagi ialah, bahasa Melayu (yang sesungguhnya merupakan nenek moyang bahasa Indonesia).
Anehnya, Alkitab mula-mula diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis, bukan di negeri Portugis sendiri, melainkan di Nusantara!
Pada pertengahan abad yang ke-17, seorang anak laki-laki kecil dibawa dari Portugis ke kota Malaka, di semenanjung Melayu. Ketika ia masih berumur belasan tahun, bocah itu mulai percaya kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya. Dan pada umur yang masih sangat muda, mulailah dia menerjemahkan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa ibunya. Kemudian, tatkala ia pindah dari Malaka ke Jakarta, ia sempat menyelesaikan terjemahannya itu. Ia juga menerjemahkan sebagian besar dari Kitab Perjanjian Lama.
Tetapi lambat laun penjajah bangsa Portugis itu diusir dari seluruh Nusantara oleh penjajah bangsa Belanda. Karena itu makin lama makin sedikit orang yang menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa perdagangan antar pulau. Dan Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di kepalauan Indonesia.
Anehnya, orang-orang yang mula-mula insaf bahwa Firman Allah seharusnya diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu bukannya para pendeta dan penginjil, melainkan para pelaut dan pedagang. Pada permulaan abad yang ke-17, seorang pelaut Belanda bernama Houtman ditangkap dan dipenjarakan oleh suku Aceh yang pada waktu itu terkenal cukup garang. Selama ditahan di Sumatera Utara, orang Belanda itu sempat belajar bahasa Melayu. Setelah dibebaskan, mulai pada tahun 1605 ia menerbitkan beberapa tulisan Kristen yangg sudah diterjemahkannya ke dalam bahasa Melayu.
Sementara itu, seorang pedagang bernama Albert Cornelisz Ruyl berlayar dari Belanda ke Indonesia pada tahun 1600. Ia menyadari bahwa Alkitab perlu dibaca oleh putra-putri Nusantara. Bahkan ia membujuk rekan-rekan sekerjanya sampai mereka rela membayar semua ongkos penerbitan untuk proyek terjemahannya itu. Pada tahun 1612 Ruyl sudah selesai mengalihbahasakan seluruh Kitab Injil Matius ke dalam bahasa Melayu. Tetapi baru tujuh belas tahun kemudian, hasil karyanya itu dicetak.
Dalam bahasa Melayu terjemahan Ruyl, Doa Bapa Kami (dari Matius 6:9-13) berbunyi sebagai berikut:
"Bappa kita, jang adda de surga:
Namma mou jadi bersakti.
Radjat-mu mendatang

kandhatimu menjadi

de bumi seperti de surga

Roti kita derri sa hari-hari membrikan kita sa hari inila.
Makka ber-ampunla pada-kita doosa kita,
seperti kita ber-ampun

akan siapa ber-sala kepada kita.
D'jang-an hentar kita kepada tjobahan,
tetapi lepasken kita dari jang d'jakat."
Hanya sebagian saja dari Alkitab yang sempat diterjemahkan oleh A. C. Ruyl, pedagang Belanda tadi. Lagi pula, bahasa Melayu yang dipakainya itu sangat jelek. Misalnya, ia belum mengerti perbedaan antara "kita" dengan "kami."
Kemudian, pada pertengahan abad yang ke-17, ada seorang pendeta Belanda bernama Daniel Brouwerius yang mulai insaf bahwa Alkitab mmasih merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan putra-putri Nusantara. Ia pindah ke kepulauan Indonesia dan berhasil menerjemahkan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Melayu.
Dalam terjemahan Daniel Bruwerius, yang mula-mula diterbitkan pada tahun 1668, Doa Bapa Kami berbunyi sebagai berikut:
"Bappa cami, jang adda de Surga,
Namma-mou jaddi bersacti.
Radjat-mou datang.
Candati-mou jaddi

bagitou de boumi bagaimana de surga.
Roti cami derri sa hari hari bri hari ini pada cami

Lagi ampon doossa cami,
bagaimana cami ampon

capada orang jang salla pada cami.
Lagi jangan antarrken cami de dalam tsjobahan

hanja lepasken cami derri jang djahat."
Memang Pdt. Brouwerius sudah dapat membedakan "kita" dan "kami." Namun masih banyak kesalahan dalam Perjanjian Baru bahasa Melayu yang diterjemahkannya. Apalagi, seluruh Perjanjian Lama masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di Nusantara.
Tujuh tahun setelah Kitab Perjanjian Baru terjemahan Brouwerius itu diterbitkan, seorang pendeta tentara tiba di Jawa Timur. Siapa namanya? Dr. Melchior Leydekker. Di samping menjadi seorang pendeta, ia juga seorang dokter. Pada tahun 1678, Dr. Leydekker pindah lagi dari jawa Timur ke Jakarta, dan tetap tinggal di ibu kota selama sisa umurnya.
Dr. Leydekker menjadi pandai sekali berkhotbah dalam bahasa Melayu. Jadi, pada tahun 1691 dialah yang ditunjuk untuk mulai menyiapkan suatu terjemahan seluruh Alkitab dalam bahasa yang dapat dipahami di seluruh Nusantara.
Selama sepuluh tahun Dr. Leydekker bekerja dengan tekun. Terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dihasilkannya. Lalu ia terus mulai mengalih-bahasakan Kitab Perjanjian Baru. Sayang, ia tidak sempat menyelesaikan tugas yang mulia itu: Ia meninggal pada tahun 1701, setelah mengerjakan terjemahannya sampai dengan Efesus 6:6.
Kutipan Doa Bapa Kami dari terjemahan bahasa Melayu Dr. Melchior Leydekker di bawah ini telah disusun kembali menurut ejaan yang disempurnakan dan menurut tanda-tanda baca yang modern. Dengan demikian lebih jelaslah persamaannya dengan ayat-ayat yang sama itu dalam terjemahan biasa bahasa Indonesia:
"Bapa kami yang di sorga,
namaMu dipersucilah kiranya

KerajaanMu datanglah.
KehendakMu jadilah,
seperti di dalam sorga, demikianlah di atas bumi.
Roti kami sehari berilah akan kami pada hari ini.
Dan ampunilah pada kami segala salah kami,
seperti lagi kami ini mengampuni

pada orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami kepada percobaan

hanya lepaskanlah kami daripada yang jahat."
Salah seorang rekan Dr. Leydekker almarhum ditunjuk untuk menyelesaikan tugasnya, sehingga pada tahun 1701 itu juga sudah ada Firman Allah yang lengkap dalam bahasa Melayu. Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk putra-putri Nusantara. Mengapa sampai terjadi demikian?
Pada masa Melchior Leydekker masih menjadi seorang mahasiswa kedokteran dan kependetaan di Belanda, lahirlah di negeri itu seorang anak laki-laki dalam keluarga seorang pembantu kepala sekolah. Anak laki-laki itu lahir pada tahun 1965 dan diberi nama Francois Valentyn. Rupa-rupanya ia seorang pemuda yang pandai, karena ia baru mencapai umur 20 tahun ketika ia diizinkan meninggalkan kuliah teologinya serta pergi ke Maluku sebagai seorang pendeta. Rupa-rupanya ia juga cepat mahir dalam bahasa Melayu: Menurut kesaksiannya sendiri, ia sudah sanggup berkhotbah dalam bahasa setempat setelah belajar hanya tiga bulan lamanya.
Pada suatu hari, kebetulan seorang pendeta tua datang ke Ambon dan menginap di tempat tinggal pendeta yang masih muda tadi. Sang pendeta tua membawa serta sebuah naskah besar. "Warisan," katanya. "Naskah ini dulu ditulis oleh seorang pendeta yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kemudian sang janda memberikan naskah ini kepadaku.
Secara tidak terduga pendeta tua itu meninggal pada waktu ia bertemu di rumah pastori di Ambon. Maka Naskah kuno itu jatuh ke dalam tangan Pdt. Francois Valentyn. Ketika diperiksa, ternyata tulisan tangan itu adalah terjemahan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu!
Pdt. Valentyn adalah seorang yang rajin. Ia rajin menyelidiki bahasa dan kebudayaan orang Maluku. Dan ia pun rajin mencari teman-teman baru di tempat pelayanannya. Salah seorang teman barunya itu adalah seorang janda kaya. Setelah menikah dengan janda itu, Pdt. Valentyn kembali ke tanah airnya pada tahun 1695. Naskah kuno itu pun dibawa ke Belanda.
Kemudian, pada permulaan abad yang ke-18 diumumkan bahwa Dr. Melchior Leydekker almarhum (dengan bantuan salah seorang rekannya) telah berhasil menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu.
Mungkinkah Pdt. Francois Valentyn menjadi iri hati? Mungkinkah ia berkeinginan supaya dia saja yang dihormati (dan bukan orang-orang yang sudah meninggal) sebagai penerjemah yang pertama-tama menghasilkan seluruh Firman Allah dalam bahasa Nusantara?
Bagaimanapun juga, Pdt. Valentyn mulai mempromosikan dirinya sebagai penerjemah naskah kuno seluruh Alkitab itu (yang hanya kebetulan saja ada di dalam tangannya). Katanya, terjemahan itu juga lebih baik, jauh lebih modern, bahkan jauh lebuh mudah dipahami terjemahan Dr. Leydekker.
Tentu saja umat Kristen menjadi bingung. Baik di Belanda maupun kepulauan Indonesia, ada orang-orang yang lebih setuju dengan terjemahan Valentyn, tetapi ada juga orang-orang yang lebih setuju dengan terjemahan Leydekker. Akibatnya, kedua terjemahan itu tidak jadi diterbitkan. Dan sekali lagi, selama berpuluh-puluh tahun, Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan putra-putri Nusantara.
Akhirnya duduk perkaranya terungkap dengan jelas. "Terjemahan Valentyn" itu diselidiki dan dinyatakan sebagai hasil karya orang lain. Lagi pula, terjemahan itu dinilai sangat jelek.
Akan tetapi sementara perselisihan pendapat itu masih berlangsung, sudah lewat juga dua puluh tahun lebih. Ada orang-orang yang merasa bahwa terjemahan Leydekker tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Maka pada tahun 1723 sebuah panitia ditunjuk untuk menyunting kembali naskah terjemahannya itu. Selama enam tahun mereka mengerjakan edisinya yang baru.
Menjelang tahun 1729, naskah terjemahan baru dari Alkitab lengkap itu dua kali disalin dengan tulisan tangan: sekali dalam huruf Latin, dan sekali lagi dalam huruf Arab. Kedua naskah itu masing-masing dikirim ke Belanda dalam dua kapal yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa walau satu naskah jadi hilang di dasar laut, namun naskah yang satunya lagi itu masih akan tiba dengan selamat. Salah seorang penyuntingnya juga berlayar ke tanah airnya, untuk mengawasi proyek penerbitan yang besar itu.
Kitab Perjanjian Baru terjemahan Leydekker keluar pada tahun 1731. Lalu Alkitab lengkap terjemahan Leydekker diterbitkan pada tahun 1733. Maka akhirnya juga Firman Allah tidak lagi bungkam dalam bahasa Nusantara!
TAMAT

Jembatan Ke Madura (Indonesia, 1864 - 1994)



Jembatan Ke Madura (Indonesia, 1864 - 1994)

Pernahkan pembaca mendengar tentang jembatan sepanjang dua puluh kilometer, yang hendak dibuat sebagai penghubung antara pulau Jawa dan pulau Madura?
Mungkin pembaca pun sudah mendengar tentang adanya berbagai-bagai hambatan berkenaan dengan proyek raksasa tersebut, sehingga bertahun-tahun lamanya jembatan ke Madura itu belum jadi di buat.
Pasal ini memang memuat kisah nyata tentang sebuah "Jembatan ke Madura", tetapi bukan jembatan sepanjang dua puluh kilometer tadi. Namun jembatan yang diceritakan di sini, juga cukup lama mengalami berbagai-bagai hambatan, sehingga baru dapat dibuat setelah 130 tahun.
Jembatan itu tidak dilewati oleh truk, bis, dan mobil, tetapi oleh kasih Allah yang dicurahkan-Nya melalui Yesus Kristus. "Jembatan ke Madura" yang dimaksud di sini, tak lain ialah Alkitab dalam bahasa Madura, yang selama satu abad lebih penting penerbitannya berkali-kali tertunda.
Mengapa begitu sulit menyediakan Firman Allah dalam bahasa Madura? Suku Madura itu bukanlah sekelompok kecil orang-orang yang tinggal di pedalaman, jauh dari orang lain. Di wilayah Indonesia, mereka itu malah menempati posisi ketiga dalam daftar suku yang terbanyak penduduknya. Letak pulau Madura itu sangat dekat dengan pulau Jawa, sedangkan suku Jawa sudah memiliki Firman Allah dalam bahasa ibu mereka sejak satu setengah abad yang lalu. Lagi pula, banyak orang Madura yang tinggal di pulau Jawa; banyak juga yang kawin dengan orang Jawa.
Namun kenyataannya, penerjemahan dan penerbitan Alkitab bahasa Madura itu berkali-kali mengalami hambatan besar. Seolah-olah ada kuasa kegelapan yang tidak memperkenankan Firman Tuhan beredar di antara orang-orang Madura dalam bahasa ibu mereka . . . .
Kisah panjang yang menyedihkan itu mulai satu setengah abad yang lalu. Pada pertengahan abad ke-19, ada seorang penduduk pulau Jawa keturunan Madura yang bernama Tosari. Setelah ia menjadi orang Kristen pada tahun 1843, Bapak Tosari berusaha membawa Kabar Baik ke pulau nenek moyangnya. Tetapi orang-orang Madura tidak mau menerima dia. Lalu ia kembali ke Jawa Timur, dan atas kesaksiannya banyak sekali orang Jawa menjadi percaya. Pada tahun-tahun terkemudian, ia dijunjung tinggi sebagai salah seorang pendekar gereja Jawa, dengan nama kehormatan: Kiayi Paulus Tosari.
Salah seorang utusan Injil dari negeri asing yang melayani di Jawa Timur pada masa hidup Kiayi Paulus Tosari itu adalah Samuel Harthoorn. Karena selisih pendapat dengan rekan-rekannya, Pdt. Harthoorn pulang ke Belanda setelah beberapa tahun di pulau Jawa. Di tanah airnya ia menikah, lalu kembali lagi ke Nusantara sebagai seorang penginjil mandiri.
Pada tahun 1864 suami-istri itu mulai menetap di Pamekasan, sebuah ibu kota kabupaten di Madura. Selama empat tahun mereka berusaha menjajaki persahabatan dengan penduduk setempat. Mereka berharap bahwa keakraban itu dapat menjadi suatu jembatan penginjilan.
Lalu . . . tragedi belaka. Pada tahun 1868, ketika Pdt. Harthoorn sedang keluar kota, segerombolan orang Madura di Pamekasan mengepung rumahnya dan membunuh istrinya. Setelah terjadi peristiwa yang begitu mengerikan, duda yang berdukacita itu meninggalkan pulau Madura selama-lamanya.
Sementara itu, di negeri Belanda ada seorang pendeta muda yang pandai; namanya, J. P. Esser. Ia belajar teologia dan juga belajar bahasa Madura, sampai ia mencapai gelar doktor. Pada tahun 1880 ia berusaha memasuki pulau Madura, tetapi tidak berhasil. Lalu ia menetap di Bondowoso, dan kemudian, di Sumberpakem; konon, kedua kota kecil di Jawa Timur itu penduduknya banyak yang keturunan suku Madura.
Berkat usaha Dr. Esser dan kawan-kawannya, seorang Madura bernama Ebing dibaptiskan pada tahun 1882. Berkali-kali Bapak Ebing mengelilingi pulau Madura, sambil menyampaikan cerita-cerita Alkitab yang telah diterjemahkan oleh Dr. Esser.
Pada tahun 1886, Dr. Esser sudah menyelesaikan terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Madura. Lalu ia mengambil cuti dinas ke Belanda, agar terjemahannya itu dapat diterbitkan. Tetapi proyek "Jembatan ke Madura" itu mengalami berbagai-bagai hambatan. Hambatan yang terbesar: Dr. Esser sendiri meninggal dunia pada umur yang masih muda, baru 37 tahun. Bahkan sebagian hasil karyanya berupa naskah terjemahan itu rupa-rupanya hilang.
Pada tahun 1889, yaitu tahun meninggalnya Dr. Esser, Tuhan telah menyediakan seorang penggantinya. Dia itu seorang pendeta muda bernama H. van der Spiegel, yang merasa terharu ketika mendengar tentang gugurnya Dr. Esser. Pada tahun 1889 itu juga ia berangkat ke Jawa Timur, untuk meneruskan pelayanan almarhum Dr. Esser di Bondowoso dan di Sumberpakem. Ia pun mengerahkan tiga orang Madura untuk menolong memperbaiki dan menyempurnakan naskah Kitab Perjanjian Baru peninggalan Esser itu.
Ketika naskah buram terjemahan itu sudah selesai, Pdt. Van der Spiegel sempat mengunjungi pulau Madura. Atas dasar perkenalannya dengan orang-orang Madura di sana, ia pun meredaksikan kembali hasil karyanya. Lalu pada tahun 1903 ia pulang ke Belanda, dengan tujuan menerbitkan seluruh Perjanjian Baru dalam bahasa Madura sama seperti Dr. Esser 17 tahun sebelumnya.
Tetapi selama Pdt. Van der Spiegel memperjuangkan proyek penerbitannya di Belanda, kembali tragedi menimpa di antara umat Kristen Madura. Gereja tempat pelayanan Bapak Ebing di Slateng itu dibakar. Seorang penginjil Madura lainnya bersama istrinya nyaris mati, pada saat rumah mereka di Sumberpakem dikepung dan dibakar.
Mungkin hambatan itu membawa pengaruhnya pula di Belanda, sehingga hasil karya Van der Spiegel yang jadi diterbitkan, hanyalah dua Kitab Injil saja, ditambah sebuah buku yang memuat 104 cerita Alkitab dalam bahasa Madura. Bahkan ketika Pdt. Van der Spiegel meninggal pada tahun 1919, masih belum keluar Kitab Perjanjian Baru bahasa Madura yang lengkap.
Salah seorang rekan sekerja Pendeta Van der Spiegel ialah Pendeta F. Shelfhorst, yang telah melayani di Bondowoso dan di Sumberpakem sejak tahun 1904. Seorang penginjil suku Madura memberitahu Pendeta Shelfhorst bahwa orang-orang Madura di kepulauan Kangean, di sebelah timur pulau Madura, rupa-rupanya lebih terbuka terhadap Kabar Injil daripada orang-orang Madura di pulau induknya.
Berita yang membesarkan hati itu tidak disia-siakan oleh Pendeta Shelfhorst. Dari tahun 1912, ia tinggal dengan keluarganya di Pandeman, Kangean. Pendeta Shelfhorst memberi banyak bantuan pengobatan kepada para penghuni setempat. Ibu Shelfhorst membuka kelas-kelas kepandaian putri. Sebagai jembatan Injil mereka juga menggunakan lagu-lagu, gambar-gambar, cerita-cerita Alkitab, dan kelompok diskusi. Namun hampir tidak ada seorang pun yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus.
Setelah berpuluh-puluh tahun tanpa hasil nyata, Pendeta Shelfhorst mulai mengkhususkan proyek penerjemahan Firman Tuhan. Pada tahun 1933 Kitab Mazmur bahasa Madura diterbitkan, berbentuk sebuah buku yang indah, sangat mirip dengan kitab-kitab suci yang sudah biasa beredar di kalangan suku Madura.
Pada tahun 1935 Pendeta Shelfhorst pensiun atas permohonannya sendiri. Tetapi ia tidak pulang ke Belanda! Malahan ia menetap di pegunungan Jawa Timur sambil menerjemahkan Firman Tuhan dengan giat serta mengutus keluar para penjual bahan cetakan Kristen. Hasil karyanya berupa Surat-Surat Perjanjian Baru dalam bahasa Madura itu ada banyak yang distensil dan dibawa para pembantunya ke mana-mana.
Ketika Pendeta Shelfhorst masih di tengah-tengah pelayanannya di daerah pegunungan itu, bala tentara Jepang mengepung Jawa Timur pada tahun 1942. Tiga tahun kemudian, ia meninggal dalam sebuah kamp tahanan Jepang di Jawa Tengah, setelah selama 41 tahun berusaha untuk menginjili suku Madura. Dan terjemahannya berupa stensilan itu tidak pernah diterbitkan.
Salah seorang kawan senasib Pendeta Shelfhorst di kamp tahanan itu adalah A. J. Swanborn, seorang Belanda keturunan Swedia. Sudah berpuluh-puluh tahun ia pun berusaha menginjili suku Madura, namun kisah karirnya sangat berbeda dengan riwayat Pendeta Shelfhorst.
Sejak masa mudanya di Belanda, A.J. Swanborn merasakan panggilan Tuhan untuk pergi ke pulau Madura dan menyampaikan kisah kasih Tuhan Yesus. Namun rupanya untuk ke pulau Madura itu tidak ada jembatan yang dapat dilewatinya. Pada tahun 1899, memang ia ditunjuk menjadi utusan Injil, tetapi ia ditugasi ke pulau-pulau Sangir-Talaud, lalu ke Jakarta, kemudian ke Yogyakarta, dan akhirnya ke Kalimantan Selatan.
Namun A. J. Swanborn masih tetap merasakan panggilan Tuhan untuk menaati Amanat Agung-Nya di pulau Madura. Karena badan Zeding tidak setuju mengutus dia ke sana, ia mengundurkan diri sebagai utusan Injil. Kemudian ia menjadi seorang pegawai sipil pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1914 ia dikirim ke kota Pamekasan sebagai kepala sekolah rakyat. Di sekolah itu ia memang tidak boleh mengabarkan Injil. Tetapi pada sore hari ia membuka sebuah sekolah swasta atas biayanya sendiri. Melalui usaha itulah ia mulai menginjili anak-anak Madura.
Bapak Swanborn juga berusaha menerjemahkan Firman Allah ke dalam bahasa Madura. Ia pun masih di tengah-tengah pelayanannya pada saat bala tentara Jepang menduduki kepulauan Indonesia. Sama seperti Pdt. F. Shelfhorst, ia juga ditahan, dan kebetulan kedua kakek yang sangat setia ini ditampung di Jawa Tengah, di kamp yang sama.
Di situ kedua-duanya dengan gigih memperjuangkan proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Madura. Rupanya pendeta Shelfhorst mengukhususkan Surat-Surat Perjanjian Baru, sedangkan spesialisasi Bapak Swanborn adalah keempat Kitab Injil dan Kisah Para Rasul. Sama seperti Pendeta Shelfhorst, Bapak Swanborn juga meninggal dalam tahanan pada bulan Mei 1945, hanya beberapa minggu saja sebelum Perang Dunia Kedua mereda.
Naskah terjemahan Bapak Swanborn itu diwariskannya kepada putri-putrinya. Mereka mengirim naskah yang sangat berharga itu kepada perwakilan Lembaga Alkitab Belanda di kota Bandung. Namun . . . celaka lagi. Konon, masa itu masa perjuangan fisik kemerdekaan Indonesia. Dalam kerusuhan peperangan, naskah tadi rupa-rupanya tidak pernah sampai ke tangan orang-orang yang dapat mengusahakan penerbitannya . . .
Nah, bagaimana pendapat pembaca, setelah menelusuri kisah tragedi yang berulang-ulang? Bukankah seolah-olah ada kuasa kegelapan yang tidak memperkenankan Firman Tuhan beredar di antara orang-orang Madura dalam bahasa ibu mereka?
Syukurlah, ceritanya tidak berakhir sampai di situ saja!
Pada bulan September 1994, yaitu genap 130 tahun sejak Pdt. Samuel Harthoorn beserta istrinya mula-mula pindah ke Pamekasan, Lembaga Alkitab Indonesia berhasil menerbitkan Alkitab lengkap dalam bahasa Madura.
Kini "Jembatan ke Madura" itu sudah menjadi kenyataan. Maukah Saudara turut mendoakan, semoga kasih Allah yang dicurahkan-Nya melalui Yesus Kristus akan melewati jembatan itu sehingga masuk ke dalam hati dan jiwa banyak orang Madura?
TAMAT

Saturday, June 15, 2013

Sejarah Pengakuan Iman Rasuli


PENGAKUAN IMAN
Posted by blessedday4us
oleh : Pdt. Jotje Hanri Karuh

Pada setiap kebaktian minggu kita mengucapkan sebuah pengakuan iman kepada Tuhan, Allah kita. Pengakuan iman yang umum dipakai di seluruh dunia adalah Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel dan pengakuan Iman Athanasius.

Dalam mengucapkan pengakuan iman sering kita mengawalinya dengan ucapan: “Bersama dengan gereja segala abad dan tempat…” Ini berarti pengakuan iman kita itu mengikatkan diri kita dalam kesatuan Roh dengan gereja segala abad-abad yang lampau, gereja pada masa kini maupun gereja yang akan datang. Suatu ikatan yang tidak terbatas pada ruang dan waktu. Pengakuan iman mempersatukan kita dengan sesama pengikut Kristus, baik dengan mereka yang masih hidup maupun dengan mereka yang telah meninggal di segala abad dan tempat.

Dalam pelaksanaannya, pengakuan iman Rasuli merupakan rumusan pengakuan iman yang sering dipergunakan dalam ibadah jemaat. Oleh sebab itu, dalam bagian ini kita akan memusatkan perhatian kepada rumusan pengakuan iman Rasuli.

SEJARAH LAHIRNYA PENGAKUAN IMAN RASULI

Sampai pada abad ke-15 banyak orang percaya bahwa pengakuan iman Rasuli ini ditulis oleh para rasul. Setiap rasul menyumbangkan satu bagian untuk pengakuan iman ini. Menurut legenda, setelah kenaikan Tuhan Yesus para murid bermufakat untuk merumuskan  dasar iman mereka kepada Yesus Kristus. Maka setelah menerima pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta, para rasul menyusun bersama-sama pengakuan iman rasuli ini. Yang memulainya adalah Petrus dengan berkata, “Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Maha Kuasa, pencipta langit dan bumi.” Andreas menambahkan, “Dan kepada  Yesus  kristus,  anakNya  yang tunggal, Tuhan kita. Yakobus melanjutkan dengan, “Yang dikandung oleh Roh Kudus…” Dan seterusnya; sampai Matius menyelesaikannya dengan berkata, “dan kehidupan yang kekal. Amin.” Tetapi ini hanyalah sebuah cerita dan bukan fakta yang sebenarnya.

Rumusan yang paling awal dari pengakuan iman jemaat mula-mula adalah  “Yesus adalah Tuhan” (I Korintus 12: 3). Rumusan ini dipandang terlalu pendek sebagai pokok iman bagi agama kristen yang sedang berkembang dengan pesat pada masa itu. Gereja pada masa perkembangannya yang pesat ini memerlukan pokok-pokok iman yang dapat menjadi pedoman yang jelas bagi warganya agar tidak “diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran.” (Efesus 4: 14).

Pengakuan iman rasuli dalam penyusunannya mengalami proses yang cukup panjang. Pengakuan iman ini lahir dari pergumulan jemaat kristen di kota Roma dalam mendidik warga jemaatnya dan melawan para penyesat-penyesat yang memberitakan ajaran-ajaran palsu tersebut. Jemaat di Roma menambahkan pengakuan iman yang singkat tersebut di atas dengan pokok-pokok pengakuan yang mengarah pada  pemahaman akan Allah yang Tritunggal yang bahannya diambil dari bagian-bagian Perjanjian Baru.

Pada tahun 150 M pengakuan iman rasuli telah tercantum dalam “SYMBOLUM ROMANUS” (=pengakuan iman jemaat kristen di Roma); dengan rumusan pengakuan iman sebagai berikut :

Aku percaya kepada Allah, Bapa yang maha kuasa,
Dan kepada Yesus kristus, anakNya yang tunggal, Tuhan kita,
Dan kepada Roh Kudus; gereja yang kudus, dan kebangkitan daging.
Pada tahun 340 M, rumusan pengakuan iman yang dipergunakan sebagai berikut:

Saya percaya kepada Allah yang maha kuasa. Dan kepada Yesus kristus, anakNya yang tunggal,
Tuhan kita. Yang lahir dari Roh Kudus dan perawan Maria.
Yang disalibkan di bawah pemerintahan Pontius Pilatus dan dikuburkan.
Dan pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati.
Yang naik ke surga
Dan duduk di sebelah kanan Bapa
Yang akan datang untuk menghakimi yang hidup
Dan yang mati
Dan kepada Roh Kudus
Gereja yang kudus
Pengampunan dosa
Kebangkitan daging
Kehidupan yang kekal
Pada tahun 700-an, pengakuan iman rasuli mencapai bentuknya seperti yang kita pergunakan sekarang :

Aku percaya kepada Allah, Bapa yang maha kuasa, khalik langit dan bumi.
Dan kepada Yesus kristus, anakNya yang tunggal, Tuhan kita.
Yang dikandung dari Roh Kudus, lahir dari nak dara Maria.
Yang menderita sengsara, di bawah pemerinthan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut.
Pada hari yang ketiga, bangkit pula dari antara orang mati.
Naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang maha kuasa.
Dan dari sana Ia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.
Aku percaya kepada Roh Kudus
Gereja yang kudus dan Am, persekutuan orang kudus
Pengampunan dosa
Kebangkitan orang mati
Dan hidup yang kekal. Amin
Pokok-pokok pengakuan iman sangat bermanfaat bagi gereja pada masa itu, dan juga pada masa kini, untuk menjelaskan iman kristen. Umumnya dipakai untuk mempersiapkan mereka yang akan mengaku percaya dan dibaptiskan (semacam katekisasi). Di samping itu, rumusan pengakuan iman ini bermanfaat untuk melawan ajaran-ajaran palsu yang mulai muncul pada masa itu. Isi ajaran palsu itu antara lain  mengatakan bahwa Yesus Kristus tidak pernah hidup di dunia ini; Yesus tidak menglami kematian dan kebangkitan; sebab yang disalibkan di Golgota bukanlah Yesus melainkan orang lain yang mirip denganNya; ada ajaran yang menolak kemanusiaan Yesus; yang lain lagi berkata bahwa Roh Kudus tidak datang pada hari Pentakosta.

Pengakuan iman  yang merupakan hasil pergumulan jemaat kristen di kota Roma ini dinamakan pengakuan iman rasuli karena  isi pengakuan iman yang ada sesuai dengan pengakuan  dan penghayatan iman para rasul dan jemaat purba dan terutama sesuai dengan kesaksian Alkitab.

GARIS BESAR PENGAKUAN IMAN RASULI

Secara tradisional pengakuan iman rasuli ini dibagi ke dalam 12 bagian seperti tersebut di atas; yang disebabkan oleh legenda  bahwa pengakuan ini disusun bersama-sama oleh kedua belas murid. Tetapi sebenarnya ada pembagian lain yang lebih mendasar yaitu pembagian yang sifatnya Trinitaris (berdasarkan ke-Tritunggalan Allah)..

Apabila kita mengikuti pembagian Trinitaris ini maka kita mendapatkan pembagian sebagai berikut:

Bagian pertama  yang berisikan kepercayaan kepada Allah sebagai Bapa yang menciptakan langit, bumi dan segenap isinya (pasal 1).
Bagian kedua, berisikan kepercayaan kepada Yesus Kristus yang adalah Anak Allah yang telah mengosongkan diriNya menjadi manusia dan  berkurban bagi manusia yang telah jatuh dalam kuasa dosa  (pasal 2-7).
Bagian ketiga, berisikan kepercayaan kepada Roh Kudus yang mempersekutukan  umat Allah dan yang mengampuni dosa serta memberikan hidup yang kekal (pasal 8-12).
Apabila kita perhatikan maka pengakuan iman rasuli sangat mendalam dan panjang lebar uraian pada bagian kedua. Kenyataan ini menunjukkan kepada kita bahwa Yesus Kristus adalah pusat iman kristen. Bukankah itu juga yang menjadi inti pemberitaan para rasul, yaitu Yesus Kristus adalah Tuhan yang menjadi manusia, tersalib, mati tetapi bangkit pada hari ketiga. Oleh sebab itu iman kita tidak sia-sia (Yoh. 1: 1-18; 20: 30 – 31;        I Kor. 12: 3;  15: 14; Filipi 2: 1-11; I Yoh. 1: 1-4).

MAKNA PENGAKUAN IMAN BAGI KITA

Mengaku percaya dengan mengucapkan pengakuan iman tidak sama dengan:

Mengakui kebenaran matematis, misalnya:  2 + 2 = 4.
Mengakui kebenaran alamiah, misalnya : kehidupan manusia di muka bumi ada batasnya, matahari terbit di ufuk Timur dan lain sebagainya.
Sebab menyatakan pengakuan iman berhubungan dengan rahasia kehidupan kita yang paling pribadi dan sangat prinsipil. Oleh sebab itu, seluruh kehidupan kita haruslah dipengaruhi oleh penghayatan nilai-nilai yang ada dalam rumusan pengakuan iman Sehingga segenap tindakan kita adalah suatu tindakan yang memberikan kesaksian nyata tentang kebenaran Allah yang terungkap dalam pengakuan iman yang kita ucapkan. Jadi dalam mengucapkan pengakuan iman tidak boleh asal diucapkan melainkan harus dihayati betul dan dilaksanakan dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Pengakuan iman yang kita ucapkan dalam ibadah tidak saja merupkan bagian liturgi tetapi juga merupkan janji kita untuk terus berpegang pada dasar-dasar iman yang benar, taat dan setia kepada Kristus Yesus sampai kapan pun walaupun hambatan untuk menyatakan ketaatan dan kesetiaan itu sangat sukar.

Pengakuan iman rasuli senantiasa diawali dengan ucapan “Aku percaya.” Kata “Aku” menunjuk kepada diri kita yang mengucapkan pengakuan iman tersebut. Meskipun demikin, kata “Aku” ini jangan dipahami dalam arti sempit, yaitu hanya sebagai pengakuan pribadi yang telah mengambil keputusan beriman kepada Allah dalam Yesus kristus; melainkan juga sebagai wujud kesatuan kita dengan gereja segala abad dan tempat yang mengaku Yesus kristus adalah Tuhan.

Perlu diperhatikan  bahwa pengakuan iman bukanlah sebuah doa, Pengakuan iman merupakan sebuah pernyataan mengenai  apa yang kita yakini dengan benar perihal pokok-pokok iman kita kepada Allah. Oleh sebab itu, dalam mengucapkan pengakuan iman kita jangan mengambil sikap doa (menundukkan kepala, melipat tangan dan memejamkan mata) melainkan mengambil sikap tegap, berdiri sempurna, pandangan lurus ke depan dan dengan suara mantap mengucapkan tiap baris rumusan pengakuan iman yang kita ucapkan.

“…Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.” (Wahyu 2:10)

Friday, June 14, 2013

Makanan secukupnya

Saya sadur dari about jesus christ facebook

about JESUS CHRIST
MAKANAN SECUKUPNYA
14Like ·  ·